Uang bekerja secara alami ketika ia membiayai kegiatan produksi dan membuahkan keuntungan dari produksi tersebut. Karenanya, jumlah uang akan bertambah sesuai dengan pertambahan hasil produksi. Dengan kata lain, penambahan kesejahteraan haruslah berbanding lurus dengan usaha yang dilakukan. Penambahan jumlah uang yang tidak diimbangi dengan penambahan jumlah produksi barang dan jasa akan mengakibatkan nilai uang menurun terhadap barang dan jasa. Kita menyebutnya inflasi.
Inflasi Vs. Suku Bunga
Pandangan umum yang berlaku saat ini, suku bunga memiliki hubungan negatif dengan inflasi, menaikkan suku bunga berarti menurunkan inflasi. Ketika suku bunga dinaikkan, maka orang akan tertarik untuk menyimpan uang di bank, sehingga akan mengurangi jumlah uang beredar, akibatnya saat itu inflasi turun. Tetapi konsekuensi dari penerapan suku bunga ialah adanya besaran tertentu yang nilainya sudah ditentukan di awal. Nilai itu harus dibayar bank kepada nasabah pada saat bunga tersebut jatuh tempo.
Misal, pada awal proses ekonomi terdapat uang beredar sebanyak Rp 3.000 triliun, lalu dengan bunga sebesar 10%, sektor perbankan berhasil menyerap sepertiga dari dana tersebut atau setara dengan Rp 1.000 triliun. Maka terjadi deflasi, jumlah uang beredar dalam perekonomian tersebut turun menjadi duapertiganya atau Rp 2.000 triliun. Tapi, setahun kemudian, ketika bunga telah jatuh tempo, perbankan harus membayar sejumlah 10% dari Rp 1.000 triliun atau Rp 100 triliun kepada perekonomian. Maka, total uang dalam perekonomian dan perbankan menjadi Rp 3.100 triliun. Jadi, alih-alih untuk mengurangi inflasi, penerapan suku bunga justru berpotensi mendatangkan inflasi yang lebih besar di kemudian hari.
Melanjutkan contoh tadi, sebetulnya tidak menjadi masalah ketika jumlah uang dalam perekonomian tersebut bertambah Rp 100 triliun, asalkan perekonomian itu juga mampu menghasilkan tambahan produksi barang dan jasa senilai Rp 100 triliun dalam tempo yang sama. Jika hal itu dilakukan, maka tidak akan terjadi inflasi karena penambahan jumlah uang diikuti dengan penambahan jumlah barang dan jasa. Tapi yang jadi masalah saat ini, tidak adanya keterkaitan antara sektor riil dengan sektor finansial.
Dalam contoh di atas, melalui suku bunga sebesar 10%, sektor finansial menentukan bahwa dalam setahun ke depan jumlah uang akan bertambah sebanyak Rp 100 triliun, sedangkan yang menentukan bertambahnya jumlah barang dan jasa adalah sektor riil, yang belum tentu mampu memproduksi barang dan jasa senilai Rp 100 triliun dalam setahun. Ketika sektor riil tidak mampu menandingi ‘kinerja’ sektor finansial, maka yang terjadi adalah inflasi. Karena itu, perlu dikoreksi pendapat yang menyebutkan tingkat suku bunga berbanding terbalik dengan tingkat inflasi.
Ketidakadilan Suku Bunga
Dalam buku pengantar ilmu ekonomi selalu disebutkan ketika pemerintah mencetak uang terlalu banyak, maka yang terjadi adalah inflasi. Tapi seringkali kita lupa, bank juga dapat ‘mencetak’ uang dengan cara menyalurkan kredit dan mengenakan bunga atasnya, money creation by the bank, dan itupun dapat menyebabkan inflasi. Inflasi akan merugikan orang yang berpenghasilan tetap, yakni naiknya nominal harga tidak diikuti naiknya nominal pendapatan kita. Tetapi akan menguntungkan mereka yang memiliki deposito dalam jumlah besar di bank konvensional.
Penerapan suku bunga akan menambah jumlah uang ke dalam suatu perekonomian, tetapi yang jadi masalah adalah uang yang baru masuk ke dalam perekonomian tersebut tidak terdistribusikan secara merata kepada seluruh pelaku ekonomi, melainkan ke tangan segelintir pemilik modal saja, yaitu mereka yang memiliki sejumlah besar uang di bank. Akibatnya, biaya inflasi sebagian besar ditimpakan kepada orang yang tidak menerima uang baru tersebut, yaitu orang-orang miskin yang tidak memiliki uang di bank.
Kita mengenal inflation tax sebagai pajak yang diambil pemerintah dari orang yang memegang uang dengan cara pemerintah mencetak lebih banyak uang untuk membiayai kebijakan ekspansi ekonomi. Tapi ternyata inflation tax bisa juga bermakna sebagai ‘pajak’ yang diambil pemilik modal dari masyarakat umum, ketika perbankan ‘mencetak’ uang dengan cara menyalurkan kredit dan mengenakan sejumlah bunga atasnya. Bahkan, kita harus lebih mewaspadai efek inflasi akibat penciptaan uang oleh bank daripada penciptaan uang oleh pemerintah, karena bank selalu menciptakan uang, sedangkan pemerintah lebih jarang.
Menarik untuk diteliti tentang kemunculan para milyuner dunia pada abad ke-20. Apakah hal ini terkait dengan terjadinya industrialisasi ataukah lebih terkait dengan berubahnya sistem finansial dunia, dimana praktik pembungaan uang dan lepasnya nilai uang dari nilai emas sudah disahkan? Pasalnya, industrialisasi sendiri sudah dimulai beberapa abad sebelumnya, tapi mengapa para milyuner itu baru muncul sekarang? Ditambah lagi kemunculan mereka diikuti dengan meluasnya kemiskinan di seluruh dunia. Apakah sekarang sedang terjadi penambahan kesejahteraan akibat industrialisasi ataukah sedang terjadi eksploitasi kesejahteraan alias konsentrasi kekayaan akibat praktik pembungaan uang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar